Perjalanan Pulang

Di antara Cirebon dan Jakarta, saya menerka-nerka tentang cerita di tanah kehidupan yang baru.

Cukup lama sejak terakhir berpergian jauh dengan kereta, sendirian.

Hal yang rutin saya jalani di tiga hingga empat tahun yang lalu, perjalanan Cirebon-Jogja dan sebaliknya.

Perjalanan seperti ini yang seringnya memberi saya ruang untuk memberi makna pada kejadian-kejadian yang lalu, juga pada mimpi-mimpi yang belum sampai.

Saya berada di kereta bertujuan akhir Gambir, untuk kemudian melakukan perjalanan ke Bandara Soekarno Hatta, lalu melakukan penerbangan ke Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang.

Suatu tanah baru yang akan menjadi bagian kecil dari perjalanan kehidupan saya yang singkat.

Cukup antusias. Untuk hal-hal baru yang akan saya temui di tempat perantauan yang asing.

Tempat-tempat baru, Rutinitas yang tidak sama, Orang-orang asing, Juga bentuk kehidupan yang lain.

Itulah kenapa saya selalu menyukai perjalanan seperti ini. Karena, untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman yang dalam tahun-tahun mendatang akan saya kenang dengan perasaan nostalgik yang intim, apa alasan untuk tidak menyukainya?

Lalu, lebih dari itu, perjalanan dan pengalaman seperti ini juga seringnya membawa saya pada suatu kesadaran yang tidak hanya menyenangkan, tetapi juga penting: suatu pemahaman yang lebih baik tentang diri saya sendiri.

Apakah saya sudah cukup berani untuk mengarahkan hidup saya sesuai dengan arah yang saya inginkan?

Apakah saya sudah cukup jujur untuk membedakan sesuatu yang benar-benar saya nilai penting dan sesuatu yang padahal tidak penting tetapi ego membuat itu seolah-olah hal yang penting?

Seberapa sering saya membiarkan jawaban dari pertanyaan tersebut terkaburkan oleh sesuatu yang bukan saya, terbiaskan oleh perkara-perkara lain. Keinginan untuk diapresiasi orang lain, kekhawatiran akan ekspektasi orang-orang, ataupun ambisi untuk memberikan impresi baik untuk orang yang kita kagumi.

Itu ego. Mengasingkan saya dari wujudnya yang paling asli.

Sebelum terlalu jauh, saya harus pulang. Segera. Bukan karena jalan itu menjajikan kenyamanan, kemewahan, ataupun riuh tepuk tangan orang-orang.

Pulang, untuk mendengarkan suara yang seringnya dibenamkan oleh keinginan untuk diapresiasi, suara yang seringnya ditindas oleh kekhawatiran untuk menjadi berbeda, suara yang seringnya ditekan oleh ketakutan untuk mencoba dan kemudian gagal.

Saya harus pulang, sebelum terlalu jauh, sebelum suara itu tidak dapat lagi saya dengar.

Sekarang, suara itu masih nyaring.

Lalu, sampai kapan harus berpura-pura tuli?