2 Tahun Setelahnya
Apa rasanya menjadi dua tahun lebih tua dari sebelumnya?
Ini merupakan Ramadhan ketiga saya di Bandung.
Persis dua tahun yang lalu,
Saya duduk di tempat yang sama,
Barangkali dengan jaket abu-abu yang sama.
Ini merupakan tempat yang dulu sekali sering saya kunjungi, Ramadhan dua tahun yang lalu dan dua semester setelahnya ketika saya menjalani tahun kedua perkuliahan.
Hampir satu tahun tidak pernah lagi berkunjung, menjadikan gambaran-gambaran tentang momen-momen yang saya lewati disini kembali berputar dalam ingatan.
Antuasiame ketika berbincang dengan teman dekat tentang hari-hari yang akan datang, menangis ketika realitas menampar saya secara tiba-tiba, euforia ketika melihat hasil penjurusan di akhir masa TPB di ITB, pun tentang kekhawatiran-kekhawatiran yang saya pendam di lantai-lantainya yang kokoh.
Saya duduk disini ketika melewati momen-momen itu.
Ini adalah tempat saya mengisolasi diri.
Memisahkan diri saya dari rutinitas yang saya jalani.
Saya duduk, dengan pikiran saya, berdua, berbincang dalam suatu keanoniman yang menenangkan.
Di tempat-tempat seperti ini, saya akan merasa terasing dengan orang-orang di sekitar saya, untuk kemudian menjalin hubungan yang paling intim dengan diri saya sendiri.
Lalu, apa rasanya menjadi dua tahun lebih tua dari sebelumnya?
Tempat yang sama, momen yang sama, dan rentang waktu dua tahun yang memisahkan. Hal yang cukup untuk membuat saya berpikir tentang apa yang telah berlalu dalam tahun-tahun terakhir ini.
Dua tahun berlalu, yang berarti lebih banyak memori tentang kekecewaan, euforia, antusiasme, rasa syukur, kesedihan, kehilangan, kegembiraan, pun dengan memori-memori lainnya yang perasaannya kadang tak terdefinisi.
Dua tahun berlalu, saya menyadari bahwa hidup barangkali hanyalah perpindahan yang konstan antara penderitaan dan kegembiraan.
Saya tidak akan bisa selamanya bahagia, pun tidak akan selamanya bersedih.
Kesadaran tersebut yang membuat saya berhenti menghakimi apakah suatu peristiwa yang saya lalui itu baik atau buruk bagi saya, apakah saya sedang beruntung ataukah sebaliknya. Pada tingkatan tertentu, itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak relevan.
Lalu, pertanyaan paling penting yang bisa saya ajukan pada diri saya sekarang adalah:
Dalam dua tahun terakhir ini,
Seberapa berani kah saya untuk mengeksekusi mimpi-mimpi yang saya punya?
Dalam rentang waktu yang sempit antara kelahiran dan kematian saya kelak,
Seberapa besar kah dampak yang bisa saya berikan atas adanya eksistensi saya di dunia ini?
Ketika satu persatu orang mulai meninggalkan tempat pendudukannya,
Saya masih duduk disana, dengan jaket abu-abu yang masih sama,
Saya membuat pertanyaan-pertanyaan itu melayang-layang di depan kepala saya, untuk membuat seolah-olah itu adalah kompas yang mengarahkan bagaimana saya harus bertindak.
Hal yang membuat saya ingin mengulang pertanyaan itu satu kali lagi,
Dalam rentang waktu yang sempit antara kelahiran dan kematian saya kelak,
Seberapa besar kah dampak yang bisa saya berikan atas adanya eksistensi saya di dunia ini?